Cerita Inspirasiku: Ronde Pendidikan - Sisi Lain Young Engineer Cerita Inspirasiku: Ronde Pendidikan

Cerita Inspirasiku: Ronde Pendidikan

"Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan". Petikan ayat suci ini yang selalu terngiang di dalam hatiku. Untaian kata pasti dari firman Tuhan yang selalu menjadi temanku sesaat setelah bangkit dari kehidupanku yang berliku, terutama dari  jalan pendidikanku yang serasa berduri, bahkan aku sendiri sempat tidak percaya bisa mencapai ujung jalannya. 

Ya. Inilah aku sekarang, tanpa campur tangan Tuhan, aku tidak akan dapat mencapai keberhasilanku seperti saat ini. Seorang Sarjana Teknik yang bekerja di bidang otomotif. Matematika Tuhan-lah yang berlaku dalam kehidupanku ini. Tidak mungkin bagi manusia, sangat mudah bagi-Nya. 

Aku ingin berbagi sedikit cerita pahit perjalanan pendidikanku. Cerita ini kubagi untuk memotivasi teman-teman yang sedang menjalani hal yang sama. Aku menyebutnya dengan "Ronde Pendidikan" untuk menggambarkan perkelahian batinku dengan dunia pendidikan yang aku jalani.

Ronde pertama. Pengalaman pahit pertamaku dalam dunia pendidikan mulai aku sadari saat berusia 12 tahun, tepatnya saat kelas 6 Sekolah Dasar (SD), aku dihadapkan dengan transaksional 'terselubung' di dunia pendidikan, aku terancam tidak bisa membawa pulang Ijazah dan STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) SD karena belum membayar uang perpisahan dan kenang-kenangan. Pembayaran sebuah kegiatan yang aku sendiri saat itu tidak tahu untuk apa dan untuk siapa. Kekecewaaan dan kesedihan begitu mendalam di hatiku saat itu. Semestinya aku bisa saja bersorak bahagia saat itu karena lulus dengan nilai tertinggi, namun hal itu terenggut oleh 'topeng keserakahan' sang Pendidik yang seharusnya amanah akan tugas suci menanamkan karakter dan ilmu ke dalam kepala generasi penerus bangsa.

Aku melihat kesedihan yang sama di mata orangtua dan wali kelasku. Aku tahu mereka hiba padaku, tapi mereka tak berdaya dengan peraturan 'busuk' sekolahku. Orangtuaku saat itu tidak bisa memenuhi hasrat aturan sekolah karena saat itu kondisi keuangan keluarga kami sedang memburuk. Wali kelasku juga saat itu tidak dapat berbuat banyak. Beliau sudah terlalu  banyak membelaku saat terlambat bayar buku dan iuran bulanan. Wanita inspiratif yang membuatku begitu candu dengan menulis, membaca dan berhitung. Tatapannya seperti mengucapkan maaf karena tidak bisa menolongku.

Belum sempat terpikirkan solusi untuk menghadapi itu semua, Tuhan sudah mendatangkan bantuannya melalui tangan orangtua temanku. Aku dibayari oleh orangtua temanku. "Alhamdulillah ya Allah. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang". Di saat dewasa ini, aku berpikir, jika tidak pernah datang pertolongan Tuhan saat itu, kemungkinan kebencianku pada dunia pendidikan tak akan pernah berujung. 

Sumber Gambar: azmyfajar.blogspot.com
Ronde kedua, transaksional 'terselubung' lagi-lagi ada. Kali ini lebih nyata, aku berdebat dengan guruku mengenai buku. Pembahasannya bukanlah tentang keilmuan dalam buku tersebut, tetapi tentang 'hasrat busuk' transaksi buku. Guru Fisikaku murka karena aku tidak membeli buku darinya. Alasanku cukup kuat, karena aku memiliki buku yang sama. Buku yang kudapat dari kakak kelas setahun di atasku. Isinya relatif sama, hanya terdapat perbedaan pada sampul dan beberapa halaman yang mengalami revisi oleh penerbit, namun tidak begitu signifikan. Hal itulah yang terpaksa aku perdebatkan di depan kelas disaksikan oleh teman-teman sekelasku. 

Perdebatanku tidak kulakukan dengan nada tinggi dan kurang ajar, tetapi yang kudapatkan tamparan. Bukuku dibuang menjauh. Sambil kuraih kembali bukuku yang tercecer di lantai depan kelas kurasakan kemarahan dan kesedihan yang semakin membara di hatiku. Aku menjadi manusia yang tak peduli sekitar lagi saat itu dan siap dengan kemungkinan apapun termasuk adu jotos dengan guru tua tersebut, kuambil bukuku dan kembali ke bangku. Untungnya ketegangan saat itu tidak berlanjut. 

Saat kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku menyaksikan penampakan nyata perubahan sekolah menjadi toko buku dengan sistem beli paksa. Aku menemukan sosok guru yang terang-terangan mempermalukanku di kelas karena terlambat bayar buku. Di samping 'makhluk bermental salah' ini, aku masih menemukan guru-guru yang benar-benar memiliki jiwa mulia, meskipun menurutku hanya tersisa 30% dari keseluruhan guru saat itu.

Tidak semua buku dapat kupinjam dari kakak kelas, karena beberapa bukunya tidak ditemukan lagi. Jadi, mau tidak mau, aku harus membeli buku-buku lainnya meskipun tidak tahu bagaimana cara membayarnya nanti. Harga buku saat itu terasa begitu mahal bagiku. Bahkan pada saat itu, untuk ongkos dan makan siang pun aku harus memilih. Aku menyisihkan 1000-2000 rupiah dari ongkosku denngan memilih berjalan kaki sekitar 5 km menuju rumah agar bisa membeli telor, bakwan atau nasi goreng untuk makan siang di rumah.

Lagi-lagi Tuhan memberiku jalan melalui hamba-Nya yang memiliki jiwa penolong. "Alhamdulillah ya Allah". Wali kelasku memberi tahuku bahwa ada orangtua murid lain yang bersedia membayariku. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Aku datang dan mengingat-Nya hanya pada saat sulit saja. Di saat dewasa ini, aku berpikir, sudah seharusnya Tuhan menjadi tempat mengaduku di saat susah maupun senang karena Tuhan selalu memberikan solusi yang aku butuhkan.

Ronde Ketiga. Masih tentang cerita transaksi yang sama, namun sedikit banting harga dari sebelumnya. Saat aku berada di Sekolah Menengah Atas (SMA), Pemerintah mulai menyadari 'kebusukan' transaksi pembelian buku yang bermodus sukarela tetapi kenyataannya memaksa murid-murid, sehingga muncul peraturan yang melarang penjualan buku oleh guru-guru di sekolah. Peraturan yang diharapkan bisa mengembalikan kembali mental guru yang sempat terjerumus menjadi wirausahawan yang salah tempat, metode dan korban, menjadi seorang pendidik mulia.

Namun, masih saja ada celah bagi pendidik yang cerdik dan licik untuk melakukan transaksi. Aku sangat ingat di benakku tahun 2005, kelas 1 SMA, kami diwajibkan membeli buku Lembar Kerja Siswa (LKS) seharga 7.500 rupiah. Beberapa guru menjadi 'super serakah' dengan mewajibkan bayar di tempat untuk pengambilan buku. Bahkan ada satu quote salah yang muncul dari mulut seorang pendidik yang menurutku sudah terlalu 'freak', yaitu "Bagaimana pun caranya kalian harus bayar buku tunai saat diambil, meski kalian harus rampok bank." Pantaskan ucapan seperti itu keluar dari seorang pendidik. Ronde ketiga ini membuatkan lebih berani melawan dan mulai banyak akal menghadapi kekejaman pendidik-pendidik yang seperti ini. Jika aku terlalu tertekan, aku cabut dari sekolah dan jika aku terlalu kesal dengan yang ada dihadapanku, aku melampiaskannya dengan berkelahi. SMA adalah masa pemberontakkan yang sangat buas di sepanjang hidupku. Aku mulai berpisah dari orang tua, kemudian tinggal bersama saudara yang bersedia membiayai biaya sekolahku, membantu apa saja yang bisa aku bantu di rumahnya, kemudian bekerja paruh waktu sebagai tukang cuci motor. Jejak kehidupan yang keras ini, membuatku menjadi manusia yang labil dan amarah. Aku merasa semakin jauh dari Tuhan. 

Perlahan pergolakan muncul dari hatiku, aku mulai kembali mendekatkan diri pada-Nya melalui sabar, sholat dan selalu minta doa restu dari orang tua. Panggilan azan dari pengeras suara mesjid menyadarkan aku dari semua kenakalanku. Di saat dewasa ini, aku berpikir, jika tidak pernah terdengar panggilan sholat saat itu, kemungkinan aku sudah terjerumus kepada sikap tidak peduli yang berlarut-larut.

Ronde keempat. Pelajaran matematika yang paling dahsyat. Pergolakan saat masuk perguruan tinggi. bagaimana tidak, aku tidak memiliki biaya masuk kuliah sepeserpun. Aku bahkan sudah pasrah, tidak ingin lagi membebani orangtuaku, merasa tidak perlu lagi sekolah terlalu tinggi. Namun keajaiban Tuhan begitu sulit diterima secara gamblang. Saudara ayahku menjadi donatur total saat itu. "Alhamdulillah ya Allah"

Di perguruan tinggi aku menemukan orang-orang yang memiliki kondisi keuangan yang sama denganku tapi dia begitu semangat kuliah. hal ini yang membuatku kembali terpacu dan rendah hati. Aku semakin mencintai pelajaranku, jurusan yang aku pilih, dan kehidupan kampus yang kujalani. Aku bersemangat mencari beasiswa dan bekerja paruh waktu untuk membiayai kuliah kuliahku. 
Sumber Gambar: insurancereview.id

"Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Setelah kesulitan itu ada kemudahan". Inilah janji Tuhan yang nyata telah aku rasakan di dalam hidupku.

Demikianlah sepenggal ceritaku ini. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi teman-teman lainnya agar bisa semangat menjalani jejak pendidikannya walau sepahit apapun.



"Saat tak ada yang bisa dibagi, maka bagilah ceritamu". itulah motto hidupku yang selalu mendorongku untuk bercerita baik secara santai maupun formal kepada teman-temanku yang aku sayangi. Bercerita dengan lisan dan tulisanku. Dan semoga cerita-cerita inspirasi lainnya tetap berlanjut dari orang yang mendengar dan membaca ceritaku.

Salam Semangat,
VM Atmanegara


Labels: Artikel, Blogger, Coretanku, Imajinesia, InspirasiIndonesia, Lomba, Pendidikan, TMMINspirasi

Thanks for reading Cerita Inspirasiku: Ronde Pendidikan. Please share...!

2 Comment for "Cerita Inspirasiku: Ronde Pendidikan"

Ketika kita berfikir jalannya sudah buntu, yakinlah pertolongan Allah selalu datang dengan jalan yang tidak kita duga...

Terima kasih atas kunjungan Agan dan Sista.
Silahkan berkomentar dengan bijak dan santun.
[VM Atmanegara]

Back To Top